PENTINGNYA KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR DALAM KONSELING |
Di
dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi
seorang konseli. Konselor menerima konseli apa adanya dan bersedia
dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun
dalam situasi yang kritis. Keadaan seperti itulah yang menjadi alasan
semua ahli konseling menempatkan peran konselor pada posisi yang amat
strategis dalam upaya “menyelamatkan” konseli dari keadaan
yang tidak menguntungkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap bahwa konselor adalah
pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses konseling.
Mengingat
pentingnya peran yang diemban konselor, maka untuk menopang tugasnya
konselor harus memiliki kualifikasi kepribadian yang memadai, yaitu
pribadi yang penuh pengertian dan selalu mendorong orang lain untuk
bertumbuh. Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi
sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan
ketrampilan terapetik. Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan ketrampilan bekerja secara seimbang dengan kepribadian akan berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling. Keberhasilan konseling lebih bergantung pada kualitas pribadi konselor dibanding kecermatan teknik.
Leona E Tyler (1969) menyatakan “…success in counseling depend more upon personal qualities than upon correct use of specified techniques“.
Pribadi konselor yang amat penting mendukung efektifitas peranannya
adalah pribadi yang altruistis-rela berkorban untuk kepentingan orang
lain yaitu kepentingan konseli (Pietrofesa, 1978).
Brammer (1985) kekhasan pribadi konselor pada umumnya meliputi awareness
of self and values; awareness of cultural experience; ability to
analyze the helper’s own feeling; ability to serve as model and
influencer; altruism; strong sense of ethics; responsibility.
Ketika
konselor menyetujui peranannya untuk membantu konseli, sekaligus
konselor menyetujui untuk mencurahkan segenap energi dan kemampuannya
membantu konselinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Karena itu
konselor merupakan “pribadi yang esensial dalam kehidupan konseli
(Pietrofesa, 1978).
Comb
dalam George dan Christiani (1991) mengungkapkan bahwa faktor personal
konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata tetapi dijadikan
sebagai instrumen dalam meningkatkan kemampuan membantu konselinya (self instrument).
Untuk menopang peran sebagai konselor yang efektif, dia perlu
mengetahui apa dan siapa “pribadinya”. Kesadaran konselor terhadap
personalnya akan menguntungkan konseli.Dimensi personal yang harus
disadari konselor dan perlu dimiliki adalah spantanitas; fleksibilitas;
konsentrasi; keterbukaan; stabilitas emosi; berkeyakinan akan kemmapuan
untuk berubah; komitmen pada rasa kemanusiaan; kemauan membantu konseli
mengubah lingkungannya; pengetahuan konselor; totalitas.
Konselor harus memiliki pribadi yang berbeda dengan pribadi-pribadi petugas helper lain.Konselor
adalah pribadi yang penuh pengertian dan mampu mendorong orang lain
tumbuh. Carlekhuff menyebutkan 9 ciri kepribadian yang harus ada pada
konselor, yang dapat menumbuhkan orang lain:
1. Empati (Empaty)
Empati
adalah kemampuan seseorang untuk merasakan secara tepat apa yang
dirasakan dan dialami orang lain.Konselor yang empatinya tinggi akan
menampakkan sifat bantuan yang nyata dan berarti dengan konseli.
2. Rasa Hormat (Respect)
Respect
secara langsung menunjukkan bahwa konselor menghargai martabat dan
nilai konseli sebagai manusia. Konselor menerima kenyataan bahwa setiap
konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan
dan mampu membuat keputusan sendiri.
3. Keaslian (genuiness).
Genuiness merupakan kemampuan konselor menyatakan dirinya secara bebas dan mendalam nyata Konselor yang genuine
selalu tampak keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan
antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia lakukan. Tingkah lakunya
sederhana, lugu dan wajar. Keaslian merupakan salah satu dasar relasi
antara konseli dan konselor, dan merupakan sarana yang membantu konseli
mengembangkan dirinya secara konstruktif menjadi diri sendiri yang lebih
dewasa.
4. Konkret (Concreteness)
Kemampuan
konselor untuk menkonkritkan hal-hal yang samar-samar dan tak jelas
mengenai pengalaman dan peristiwa yang diceritakan konseli termasuk
ekspresi-ekspresi perasaan yang spesifik yang muncul dalam komunikasi
mereka. Seorang konselor yang memiliki concreteness tinggi
selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, di mana, dan
bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi dan selalu berusaha mencegah
konseli lari dari kenyataan yang sedang dihadapi.
5. Konfrontasi (Confrontation)
Dalam
konseling konfrontasi mengandung pengertian yang sangat berbeda dan
tidak ada kaitannya dengan tindakan menghukum. Konfrontasi terjadi jika
terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan konseli dengan apa yang
ia alami, atau antara apa yang ia katakan pada suatu saat dengan apa
yang telah ia katakan sebelumnya.
6. Membuka Diri (Self Disclosure)
Self Disclosure
adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman
pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor mengungkapkan diri
sendiri dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti , sesuai
dengan permasalahan konseli. Makna dibalik sikap terbuka
mengungkapkan pengalaman pribadi ialah bahwa konselor ingin menunjukkan
kepada konseli bahwa konselor bukanlah seorang pribadi yang berbeda
dengan konseli, melainkan manusia biasa yang juga mempunyai pengalaman
jatuh bangun dalam hidup.
7. Kesanggupan (Potency)
Potency
dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis dan
magnetis dari kualitas pribadi konselor (Wolf, 1970). Konselor yang
memiliki sifat potency ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia mampu menguasai dirinya dan mampu menyalurkan kompetensinya dan rasa aman kepada konseli.Konselor yang rendah potency nya, tidak mampu membangkitkan rasa aman pada konseli dan konseli enggan mempercayainya.
8. Kesiapan (Immediacy)
Immediacy adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan di sini (Colingwood & Renz, 1969). Tingkat immediacy
yang tinggi terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai
hubungan antar pribadi yang terjadi antara konselor dan konseli dalam
situasi konseling.Immediacy merupakan variabel yang sangat
penting karena menyediakan kesempatan untuk menggarap berbagai masalah
konseli, sehingga konseli dapat mengambil manfaat melalui pengalaman
ini.
9. Aktualisasi Diri (Self Actualization)
Penelitian membuktikan bahwa Self Actualization mempunyai korelasi tinggi dengan keberhasilan konseling (Foulds, 1969). Self Actualization dapat dipergunakan konseli sebagai model . Secara tidak langsung Self Actualization menunjukkan
bahwa orang dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya, karena ia memiliki
kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Konselor yang
dapat Self Actualization memiliki kemampuan mengadakan hubungan sosial yang hangat (warmth), intim, dan secara umum mereka sangat efektif dalam hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas kepribadian konselor sangat menentukan keberhasilan konseling. Oleh
karena itu untuk menjadi konselor harus dipilih individu-individu yang
memang memiliki kualifikasi kepribadian yang memadai seperti yang
dianjurkan para ahli di bidang konseling. Bila
memungkinkan para calon konselor itu harus diseleksi tidak hanya
kemampuan akademisnya tetapi juga kualifikasi kepribadiannya dengan
melaksanakan tes kepribadian bagi mereka.
UcH_In.Com
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar