Sabtu, 14 Januari 2012

TEORI BEHAVIORISTIK DALAM PEMBELAJARAN

UcHin_Us One_View Future

TEORI BEHAVIORISTIK DALAM PEMBELAJARAN
A. PendahuluanMutu pendidikan selalu menjadi sorotan dari berbagai pihak. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu pembelajaran. Sebenarnya banyak teori yang telah terbukti secara empiris dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Salah satu di antaranya adalah teori behavioristik. Teori ini masih relevan dengan pembelajaran berbasis kompetensi. Pemahaman guru terhadap teori pembelajaran masih beragam sebahagian besar guru mengajar tidak berlandaskan teori belajar tertentu. Mereka mengajar yang penting tujuan tercapai dan pembelajaran dapat dinyatakan tuntas.Berdasarkan hal tersebut, maka sangat tepat jika teori behavioristik dikenalkan kembali sehingga guru dapat mengaplikasikannya dalam pembelajaran. Permasalahannya adalah bagaimana konsep teori behavioristik dan aplikasinya dalam pembelajaran? Kata kunci: behavioristik dan aplikasinya.B. Teori BehavisistikMenurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan. Teori behavioristik didukung oleh Thorndike, Watson, Edwin Guthrie, Clark Hull dan Skinner. Menurut Thorndike menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu ineraksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Teori Conditioning Edwin Guthrie dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar perserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner. Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya. Namun kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.C. Aplikasi dalam PembelajaranAplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.Teori belajar behavioristik dengan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.Beberapa prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) belajar berkat insight (4) belajar berkat insight; dan(5) belajar berdasarkan pengalaman.Teori Gestalt menganggap bahwa keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta, akan tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu siswa dapat mempelajari fakta.Prinsip anak yang belajar merupakan keseluruhan mengandung pengertian bahwa membelajarkan anak itu bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Oleh karenanya mengajar itu bukanlah menumpuk memori anak dengan fakta-fakta yang lepas-lepas, tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri anak.Telah dijelaskan bahwa insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Dengan demikian, belajar itu akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah menghafal fakta. Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. C. KesimpulanBelajar menurut teori behavioristik merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Prinsip penerapan teori belajar ini adalah: (1) belajar itu berdasarkan keseluruhan; (2) Anak yang belajar merupakan keseluruhan; (3) Belajar berkat insight (4) Belajar berkat insight; dan (5) Belajar berdasarkan pengalaman.Daftar PustakaAsrori, Mohammad. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.Budiningshi, Asri.2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali.Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Teori Kepribadian Sigmund Freud

Teori Kepribadian Sigmund Freud — Documen

  • 1.SEKILAS TENTANG TEORI KEPRIBADIAN SIMGUND FREUD DAN APLIKASINYA  DALAM PROSES BIMBINGAN Sigmund Freud is a prominent figure who is very creative and productive in writing his works. One of his famous works is the theory about Psychoanalysis. In this theory, Freud states several key concepts: 1) Perception about human behaviour. Freud states that human behaviour is determined by the irrational power which is not aware of biological motivation and motivation of certain psychological sexual instinct at the first six years of life; 2) the structure of human personality consists of idea, ego and superego; 3) consciousness and unconsciousness; 4) worries; 5) mechanism how to defend ego; and 6) the development of individuality. This article tries to look at the six key concepts above and its application to counseling. Riwayat hidup Sigmund Freud Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Gerald Corey dalam “Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy” menjelaskan bahwa Sigmund Freud adalah anak sulung dari keluarga Viena yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima orang wanita. Dalam hidupnya ia ditempa oleh seorang ayah yang sangat otoriter dan dengan uang yang sangat terbatas, sehingga keluarganya terpaksa hidup berdesakan di sebuah aparterment yang sempit, namun demikian orang tuanya tetap berusaha untuk memberikan motivasi terhadap kapasitas intelektual yang tampak jelas dimiliki oleh anak-anaknya. Sebahagian besar hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan tentang teori psikoanalisisnya. Uniknya, saat ia sedang mengalami problema emosional yang sangat berat adalah saat kreativitasnya muncul. Pada umur paruh pertama empat puluhan ia banyak mengalami bermacam psikomatik, juga rasa nyeri akan datangnya maut dan fobi-fobi lain. Dengan mengeksplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri ia mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang. Sigmund Freud dikenal juga sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya 18 jam sehari untuk menulis karya-karyanya, dan karya tersebut terkumpul sampai 24 jilid. Bahkan ia tetap produktif pada usia senja. Karena karya dan produktifitasnya itu, Freud dikenal bukan hanya sebagai pencetus psikoanalisis yang mencuatkan namanya sebagai intelektual, tapi juga telah meletakkan teknik baru untuk bisa memahami perilaku manusia. Hasil usahanya itu adalah sebuah teori kepribadian dan psikoterapi yang sangat komprehenshif dibandingkan dengan teori serupa yang pernah dikembangkan. Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia. Lima karya Freud yang sangat terkenal dari beberapa karyanya adalah: 1. The Interpretation of dreams (1900), 2. The Psichopathology of Everiday Life (1901), 3. General Introductory Lectures on Psichoanalysis (1917), 4. New Introductory Lectures on Psichoanalysis (1933) dan 5. An Outline of Psichoanalysis (1940).
  • 2. Dalam dunia pendidikan pada masa itu, Sigmund Freud belum seberapa populer. Menurut A. Supratika, nama Freud baru dikenal pertama kalinya dalam kalangan psikologi akademis pada tahun 1909, ketika ia diundang oleh G. Stanley Hall, seorang sarjana psikologi Amerika, untuk memberikan serangkaian kuliah di universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pengaruh Freud di lingkungan psikologi baru terasa sekitar tahun 1930-an. Akan tetapi Asosiasi Psikoanalisis Internasional sudah terbentuk tahun 1910, begitu juga dengan lembaga pendidikan psikoanalisis sudah didirikan di banyak negara. Persepsi tentang sifat manusia Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut. Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah. Struktur Kepribadian Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego. Gerald Corey menyatakan dalam perspektif aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan super ego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya, jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan. Menurut Calvil S. Hall dan Lindzey, dalam psikodinamika masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instink-instink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia. Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan kepribadian adalah:
  • 3. 1. apabila rasa id-nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya, 2. apabila rasa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan 3. apabila rasa super ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional. Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer. Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat. Kesadaran dan ketidaksadaran Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Gerald Corey, bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti: 1. mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri, 2. salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya, 3. sugesti pasca hipnotik, 4. materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan 5. materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik. Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran. Kecemasan Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Gerald Corey mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego
  • 4. dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang. Sedangkan menurut Calvin S. Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral. 1. kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata. 2. kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan 3. kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral. Mekanisme pertahanan ego Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah: 1. represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran, 2. memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik, 3. pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, 4. proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar, 5. penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”, 6. rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur, 7. sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi, 8. regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami, 9. introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain, 10. identifikasi, 11. konpensasi, dan 12. ritual dan penghapusan. Perkembangan kepribadian Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap. Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun (dalam A.Supratika), yaitu: (1) tahap oral, (2) tahap anal: 1-3 tahun, (3) tahap palus: 3-6 tahun, (4) tahap laten:
  • 5. 6-12 tahun, (5) tahap genetal: 12-18 tahun, (6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja. Aplikasi Teori Sigmund Freud Dalam Bimbingan Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka ada beberapa teorinya yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa ”manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen (dalam Yusuf Gunawan) membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu: 1. memahami individu (understanding-individu), 2. preventif dan pengembangan individual, dan 3. membantu individu untuk menyempurnakannya. Memahami individu. Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya. Karena itu bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya didasarkan atas pemahaman diri anak didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi efektif jika konselor kurang pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku konseli, sehingga usaha preventif dan treatment tidak dapat berhasil baik. Preventif dan pengembangan individual. Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif berusaha mencegah kemorosotan perkembangan anak dan minimal dapat memelihara apa yang telah dicapai dalam perkembangan anak melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantu setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Membantu individu untuk menyempurnakan. Setiap manusia pada saat tertentu membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan setiap individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada macamnya, jadi sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia meliki. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Jadi dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses bantuan kepada konseli, sehingga metode dan materi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu. Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya. Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu hidup dalam
  • 6. kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami manusia, jadi untuk itu maka bimbingan ini dapat merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan. Ketiga, konsep psikolanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pemebinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik. Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyatakan bahwa “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang ikut mewarnainya sampai dewasa.” Selain itu seorang penyair menyatakan bahwa “Tumbuhnya generasi muda kita seperti yang dibiasakan oleh ayah-ibunya”. Hadis dan syair tersebut di atas sejalan dengan konsep Freud tentang kepribadian manusia yang disimpulkannya sangat tergantung pada apa yang diterimanya ketika ia masih kecil. Namun tentu saja terdapat sisi-sisi yang tidak begitu dapat diaplikasikan, karena pada hakikatnya manusia itu juga bersifat baharu. Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif. Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional. 
  •  www.UcHin.com
  •  www.sfreud.com

BK KOMPREHENSIF

 

 Old ScHool in Love

BK Sekolah Komprehensif

Share17   Minggu, 14 Januari 2012   Kegiatan, Konseling, Lain-lain

Melalui pemahaman dan penguasaan yang mendalam tentang asumsi pokok program BK yang bersifat komprehensif dan penjabaran dalam komponen-komponen program, maka konselor diharapkan dapat menyusun dan mengembangkan rencana aksi layanan BK dengan tujuan dan target terukur serta berdasarkan skala prioritas layanan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang konselor harus menyadari sepenuhnya bahwa tujuan-tujuan yang akan ditetapkan dalam perencanaan program BK harus menjadi bagian integral dari tujuan pendidikan nasional pada umumnya dan visi/misi yang ada di sekolah secara khusus. Dengan demikian, petugas bimbingan dan konseling mampu dengan tepat menentukan bagaimana cara yang efektif untuk mencapai tujuan beserta sarana-sarana yang diperlukannya.

Bimbingan dan Konseling sebagai Sistem dan Subsistem

Berdasarkan asumsi dasar tentang sifat menyeluruh (komprehensif) program BK, kegiatan BK merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling bertalian, sambung-menyambung, dan setiap bagian memiliki ikatan kesatuan dengan bagian yang lain yang berorientasi pada pencapaian tujuan tertentu. Dengan demikian, kegiatan BK dapat dianggap sebagai subsistem dalam sistem pendidikan yang menjadi induknya. Rangkaian kegiatan BK pada akhirnya memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan rangkaian kegiatan sekolah lainnya.
Sementarai itu, BK sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek utama (Gunawan, 2001), yakni:
  1. Tujuan yang hendak dicapai sebagai aspek utama yang harus ditentukan terlebih dahulu. Penetapan tujuan akan memudahkan konselor menentukan strategi yang akan dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan yang dimaksud
  2. Kegiatan pokok yang menunjang langsung tercapainya tujuan. Bagian-bagian pokok dari suatu sistem dan strategi yang dikembangkan biasanya disebut sebagai penjabaran aktivitas dari suatu strategi yang di dalamnya terdapat aktivitas utama yang hendak dilakukan. Dengan kata lain, tercapainya tujuan hanya mungkin terjadi melalui implementasi kegiatan-kegiatan yang dimaksud. Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan sebaiknya dirumuskan secara tepat sasaran dan dengan dampak yang terukur
  3. Implementasi kegiatan (proses) atau berfungsinya isi dari suatu strategi yang mengarah pada pencapaian tujuan. Kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan semaksimal mungkin harus diusahakan dapat terlaksana sebaik mungkin.
  4. Ketiga aspek dari program BK sebagai sistem tersebut saling berkaitan dan satu kesatuan organis yang berproses menuju tujuan layanan ataupun program yang hendak dicapai. Dalam rangka itu, modul materi ini bermuara pada fasilitasi keterampilan praktis bagi konselor tentang prosedur penyusunan program BK yang memperhatikan berbagai asumsi dasar dan komponen layanan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sistematika Penyusunan dan Pengembangan Program BK

Sistematika penyusunan dan pengembangan program BK Sekolah yang komprehensif pada dasarnya terdiri dari dua langkah besar, yaitu: a) pemetaan kebutuhan, masalah, dan konteks layanan; dan b) desain program yang sesuai dengan kebutuhan, masalah, dan konteks layanan. Adapun penjabaran dari tiap-tiap langkah besar sebagai berikut:
1. Desain Program BK dan Rencana Aksi (Action Plan)
Berikut ini adalah penjabaran rencana operasional (action plan) yang diperlukan Action plan yang akan disusun paling tidak memenuhi unsur 5W+1H (what, why, where, who, when, and how). Dengan demikian, konselor dan petugas bimbingan perlu melakukan hal-hal berikut ini: 1)Identifikasikan dan rumuskan berbagai kegiatan yang harus/perlu dilakukan. Kegiatan ini diturunkan dari perilaku/tugas perkembangan/kompetensi yang harus dikuasai peserta didik.,2)Pertimbangkan porsi waktu yang diperlukan untuk melaksanakan setiap kegiatan di atas. Apakah kegiatan itu dilakukan dalam waktu tertentu atau terus menerus. Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling dalam setiap komponen program perlu dirancang dengan cermat. Perencanaan waktu ini didasarkan kepada isi program dan dukungan manajemen yang harus dilakukan oleh konselor. Berikut dikemukakan tabel alokasi waktu, sekedar perkiraan atau pedoman relatif dalam pengalokasian waktu untuk konselor dalam pelaksanaan komponen pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah.,3)Inventarisasi kebutuhan yang diperoleh dari needs assessment ke dalam tabel kebutuhan yang akan menjadi rencana kegiatan. Rencana kegiatan dimaksud dituangkan ke dalam rancangan jadwal kegiatan untuk selama satu tahun. Rancangan ini bisa dalam bentuk matrik; Program Tahunan dan Program semester.,4)Program bimbingan dan konseling Sekolah/Madrasah yang telah dituangkan ke dalam rencana kegiatan perlu dijadwalkan ke dalam bentuk kalender kegiatan. Kalender kegiatan mencakup kalender tahunan, semesteran, bulanan, dan mingguan.,5)Program bimbingan dan konseling perlu dilaksanakan dalam bentuk (a) kontak langsung, dan (b) tanpa kontak langsung dengan peserta didik. Untuk kegiatan kontak langsung yang dilakukan secara klasikal di kelas (pelayanan dasar) perlu dialokasikan waktu terjadwal 2 (dua) jam pelajaran per-kelas per-minggu. Adapun kegiatan bimbingan tanpa kontak langsung dengan peserta didik dapat dilaksanakan melalui tulisan (seperti e-mail, buku-buku, brosur, atau majalah dinding), kunjungan rumah (home visit), konferensi kasus (case conference), dan alih tangan (referral).
2. Pemetaan Kebutuhan, Masalah, dan Konteks Layanan
Penyusunan program BK di sekolah haruslah dimulai dari kegiatan asesmen (pengukuran, penilaian) atau kegiatan mengidentifikasi aspek-aspek yang dijadikan bahan masukan bagi penyusunan program/layanan (Depdiknas, 2007). Kegiatan asesmen ini meliputi (1) asesmen konteks lingkungan program yang terkait dengan kegiatan mengidentifikasi harapan dan tujuan sekolah, orangtua, masyarakat, dan stakeholder pendidikan terlibat, sarana dan prasarana pendukung program bimbingan, kondisi dan kualifikasi konselor, serta kebijakan pimpinan sekolah; (2) asesmen kebutuhan dan masalah peserta didik yang menyangkut karakteristik peserta didik; seperti aspek fisik (kesehatan dan keberfungsiannya), kecerdasan, motivasi, sikap dan kebiasaan belajar, minat, masalah-masalah yang dihadapi, kepribadian, tugas perkembangan psikologis.
Melalui pemetaan ini diharapkan program dan layanan BK yang dikembangkan oleh konselor benar-benar dibutuhkan oleh seluruh segmen yang terlibat dan sesuai dengan konteks lingkungan program. Dengan kata lain, program dan kegiatan yang tertuang dalam rencana per semester ataupun tahunan bukan sekedar tuntutan administratif, melainkan tuntutan tanggung jawab yang sungguh harus dilaksanakan secara professional. Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh konselor dalam memetakan kebutuhan, masalah, dan konteks layanan: 1) Menyusun instrumen dan unit analisis penilaian kebutuhan. Eksplorasi peta kebutuhan, masalah, dan konteks membutuhkan instrument asesmen yang berfungsi sebagai alat bantu. Dalam instrumen ini, konselor merumuskan aspek dan indicator beserta item pernyataan/pertanyaan yang akan diukur dan jenis metode yang akan digunakan untuk mengungkap aspek dimaksud. Metode yang dapat digunakan, seperti observasi, wawancara, dokumentasi, dan sebagainya., 2) Implementasi penilaian kebutuhan. Pada tahap ini, konselor sesegera mungkin mengumpulkan data dengan menggunakan instrument yang telah dibuat sebelumnya dengan tujuan memperoleh gambaran kebutuhan dan konteks lingkungan yang akan dirumuskan ke dalam program lebih lanjut., 3) Analisis hasil penilaian kebutuhan. Setelah data terkumpul, konselor mengolah, menganalisis, dan menginterpretasi hasil penilaian yang diungkap dengan tujuan kebutuhan, masalah, dan konteks program dapat teridentifikasi dengan tepat., 4) Pemetaan kebutuhan/permasalahan. Setelah hasil analisis dan identifikasi masalah terungkap, petugas BK dan konselor membuat peta kebutuhan/masalah yang dilengkapi dengan analisis faktor-faktor penyebab yang memunculkan kebutuhan/permasalahan

Sumber: Fathur Rahman (2009) Penyusunan Program BK di Sekolah (Bahan PLPG) Yogyakarta: Univeristas Negeri Yogyakarta (UNY)


PENTINGNYA KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR DALAM KONSELING

PENTINGNYA KEPRIBADIAN SEORANG KONSELOR DALAM KONSELING PDF Print E-mail

Di dalam proses konseling, konselor adalah orang yang amat bermakna bagi seorang konseli. Konselor menerima konseli apa adanya dan bersedia dengan sepenuh hati membantu konseli mengatasi masalahnya sekalipun dalam situasi yang kritis. Keadaan seperti itulah yang menjadi alasan semua ahli konseling menempatkan peran konselor pada posisi yang amat strategis dalam upaya “menyelamatkan” konseli dari keadaan yang tidak menguntungkan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua pendekatan dan ahli konseling menganggap bahwa konselor adalah pihak yang amat menentukan bagi keberhasilan proses konseling.
Mengingat pentingnya peran yang diemban konselor, maka untuk menopang tugasnya konselor harus memiliki kualifikasi kepribadian yang memadai, yaitu pribadi yang penuh pengertian dan selalu mendorong orang lain untuk bertumbuh. Kepribadian konselor merupakan titik tumpu yang berfungsi sebagai penyeimbang antara pengetahuan mengenai dinamika perilaku dan ketrampilan terapetik. Ketika titik tumpu ini kuat, pengetahuan dan ketrampilan bekerja secara seimbang dengan kepribadian akan berpengaruh pada perubahan perilaku positif dalam konseling. Keberhasilan konseling lebih bergantung pada kualitas pribadi konselor dibanding kecermatan teknik.
Leona E Tyler (1969) menyatakan “…success in counseling depend more upon personal qualities than upon correct use of specified techniques“. Pribadi konselor yang amat penting mendukung efektifitas peranannya adalah pribadi yang altruistis-rela berkorban untuk kepentingan orang lain yaitu kepentingan konseli (Pietrofesa, 1978).
Brammer (1985) kekhasan pribadi konselor pada umumnya meliputi awareness of self and values; awareness of cultural experience; ability to analyze the helper’s own feeling; ability to serve as model and influencer; altruism; strong sense of ethics; responsibility.
Ketika konselor menyetujui peranannya untuk membantu konseli, sekaligus konselor menyetujui untuk mencurahkan segenap energi dan kemampuannya membantu konselinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Karena itu konselor merupakan “pribadi yang esensial dalam kehidupan konseli (Pietrofesa, 1978).
Comb dalam George dan Christiani (1991) mengungkapkan bahwa faktor personal konselor tidak hanya bertindak sebagai pribadi semata tetapi dijadikan sebagai instrumen dalam meningkatkan kemampuan membantu konselinya (self instrument). Untuk menopang peran sebagai konselor yang efektif, dia perlu mengetahui apa dan siapa “pribadinya”. Kesadaran konselor terhadap personalnya akan menguntungkan konseli.Dimensi personal yang harus disadari konselor dan perlu dimiliki adalah spantanitas; fleksibilitas; konsentrasi; keterbukaan; stabilitas emosi; berkeyakinan akan kemmapuan untuk berubah; komitmen pada rasa kemanusiaan; kemauan membantu konseli mengubah lingkungannya; pengetahuan konselor; totalitas.
Konselor harus memiliki pribadi yang berbeda dengan pribadi-pribadi petugas helper lain.Konselor adalah pribadi yang penuh pengertian dan mampu mendorong orang lain tumbuh. Carlekhuff menyebutkan 9 ciri kepribadian yang harus ada pada konselor, yang dapat menumbuhkan orang lain:
1. Empati (Empaty)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan secara tepat apa yang dirasakan dan dialami orang lain.Konselor yang empatinya tinggi akan menampakkan sifat bantuan yang nyata dan berarti dengan konseli.
2. Rasa Hormat (Respect)
Respect secara langsung menunjukkan bahwa konselor menghargai martabat dan nilai konseli sebagai manusia. Konselor menerima kenyataan bahwa setiap konseli mempunyai hak untuk memilih sendiri, memiliki kebebasan, kemauan dan mampu membuat keputusan sendiri.
3. Keaslian (genuiness).
Genuiness merupakan kemampuan konselor menyatakan dirinya secara bebas dan mendalam nyata Konselor yang genuine selalu tampak keaslian pribadinya, sehingga tidak ada pertentangan antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia lakukan. Tingkah lakunya sederhana, lugu dan wajar. Keaslian merupakan salah satu dasar relasi antara konseli dan konselor, dan merupakan sarana yang membantu konseli mengembangkan dirinya secara konstruktif menjadi diri sendiri yang lebih dewasa.
4. Konkret (Concreteness)
Kemampuan konselor untuk menkonkritkan hal-hal yang samar-samar dan tak jelas mengenai pengalaman dan peristiwa yang diceritakan konseli termasuk ekspresi-ekspresi perasaan yang spesifik yang muncul dalam komunikasi mereka. Seorang konselor yang memiliki concreteness tinggi selalu mencari jawaban mengenai apa, mengapa, kapan, di mana, dan bagaimana dari sesuatu yang ia hadapi dan selalu berusaha mencegah konseli lari dari kenyataan yang sedang dihadapi.
5. Konfrontasi (Confrontation)
Dalam konseling konfrontasi mengandung pengertian yang sangat berbeda dan tidak ada kaitannya dengan tindakan menghukum. Konfrontasi terjadi jika terdapat kesenjangan antara apa yang dikatakan konseli dengan apa yang ia alami, atau antara apa yang ia katakan pada suatu saat dengan apa yang telah ia katakan sebelumnya.
6. Membuka Diri (Self Disclosure)
Self Disclosure adalah penampilan perasaan, sikap, pendapat, dan pengalaman-pengalaman pribadi konselor untuk kebaikan konseli. Konselor mengungkapkan diri sendiri dengan mengungkapkan beberapa pengalaman yang berarti , sesuai dengan permasalahan konseli. Makna dibalik sikap terbuka mengungkapkan pengalaman pribadi ialah bahwa konselor ingin menunjukkan kepada konseli bahwa konselor bukanlah seorang pribadi yang berbeda dengan konseli, melainkan manusia biasa yang juga mempunyai pengalaman jatuh bangun dalam hidup.
7. Kesanggupan (Potency)
Potency dinyatakan sebagai kharisma, sebagai suatu kekuatan yang dinamis dan magnetis dari kualitas pribadi konselor (Wolf, 1970). Konselor yang memiliki sifat potency ini selalu menampakkan kekuatannya dalam penampilan pribadinya. Ia mampu menguasai dirinya dan mampu menyalurkan kompetensinya dan rasa aman kepada konseli.Konselor yang rendah potency nya, tidak mampu membangkitkan rasa aman pada konseli dan konseli enggan mempercayainya.
8. Kesiapan (Immediacy)
Immediacy adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan diantara konseli dengan konselor pada waktu kini dan di sini (Colingwood & Renz, 1969). Tingkat immediacy yang tinggi terdapat pada diskusi dan analisis yang terbuka mengenai hubungan antar pribadi yang terjadi antara konselor dan konseli dalam situasi konseling.Immediacy merupakan variabel yang sangat penting karena menyediakan kesempatan untuk menggarap berbagai masalah konseli, sehingga konseli dapat mengambil manfaat melalui pengalaman ini.
9. Aktualisasi Diri (Self Actualization)
Penelitian membuktikan bahwa Self Actualization mempunyai korelasi tinggi dengan keberhasilan konseling (Foulds, 1969). Self Actualization dapat dipergunakan konseli sebagai model . Secara tidak langsung Self Actualization menunjukkan bahwa orang dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya, karena ia memiliki kekuatan dalam dirinya untuk mencapai tujuan hidupnya. Konselor yang dapat Self Actualization memiliki kemampuan mengadakan hubungan sosial yang hangat (warmth), intim, dan secara umum mereka sangat efektif dalam hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas kepribadian konselor sangat menentukan keberhasilan konseling. Oleh karena itu untuk menjadi konselor harus dipilih individu-individu yang memang memiliki kualifikasi kepribadian yang memadai seperti yang dianjurkan para ahli di bidang konseling. Bila memungkinkan para calon konselor itu harus diseleksi tidak hanya kemampuan akademisnya tetapi juga kualifikasi kepribadiannya dengan melaksanakan tes kepribadian bagi mereka. 
UcH_In.Com